Kelezatan Menyelinap dalam Kesederhanaan

Written By bopuluh on Sabtu, 04 Mei 2013 | 23.45

Oleh Benny D Koestanto dan Budi Suwarna

WARUNG di belakang terminal itu terkesan seadanya. Namun, sederetan orang ternama di negeri ini bergantian singgah. Mereka tergoda mencicipi kelezatan ikan bakar yang khas.   

Made Darni (46) bersama beberapa perempuan duduk di balai-balai di tengah warung. Ia sedang sibuk merajut janur menjadi hiasan dan wadah sesajen untuk perayaan hari raya Kuningan, yang jatuh pada Sabtu (6/4/2013).

Sementara itu, dari dapur Warung Ikan Bakar Pak Made yang sempit, asap putih tipis menguar ke udara dan membawa aroma harum ikan bakar. Darni segera bangkit ketika rombongan kami memasuki warung. Ia menyambut para tamu dan menyodorkan daftar menu.

Tak lama kemudian dari depan pintu dapur kami melihat Made Kyana (50), si pemilik warung, tengah membakar sederet panjang ikan pesanan pembeli. Kita bisa memilih ikan, mulai dari kakap, kerapu, kue, baronang, cumi, hingga udang.

Sesekali ia mengoles bumbu racikan rahasianya. Meski begitu, ia mau membuka sebagian bahan rahasia itu, yakni minyak goreng, serai, bawang bombay, rosemary, dan oregano. Racikan bumbu oles itu sanggup menyulap bau amis ikan menjadi harum ikan bakar. Seusai mengoles bumbu, Kyana berulang-ulang mengangkat ikan bakarnya dari tungku pembakaran, mengamati permukaannya, dan melanjutkan pembakaran.

"Kita harus rajin menengok ikan yang sedang dibakar untuk memastikan tingkat kematangannya. Tidak baik jika gosong," ujar Kyana yang menggunakan bara arang kayu untuk pembakaran.

Pembakaran ikan memakan waktu sekitar 20 menit. Selama itu pula harum ikan bakar menggedor habis saraf-saraf yang menerbitkan selera makan. Prinsip yang dipegang Kyana adalah lama pembakaran sangat menentukan aroma dan kelezatan ikan.

"Membakar ikan harus pelan-pelan. Kalau dipaksa cepat matang, rasanya akan pahit," ujar Made Kyana mencoba menenangkan kami yang mulai kelaparan.

Dan saat yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Kyana dan seorang karyawannya membawa ikan yang telah selesai dimasak ke meja makan. Satu paket menu terdiri dari nasi putih, kerapu atau baronang bakar, tiga udang bakar, cumi-cumi, dua jenis sambal, dan lalapan. Semuanya disajikan sederhana di atas piring anyaman dari lidi janur beralas daun pisang.

Ikan bakar olahan Kyana berwarna keemasan dengan sedikit noda hitam bekas pembakaran di sana-sini. Tidak ada permukaan ikan yang gosong. Dagingnya matang sempurna sehingga meninggalkan sedikit tekstur kenyal. Kami menyantapnya dengan lahap. Jejak gurih dan manis ikan yang dibakar dalam keadaan segar itu seolah menancap di lidah serta berpadu dengan sambal matah khas Bali yang menyimpan aroma samar serai dan jeruk limau. Ketika kami sibuk makan, Kyana memainkan rindik—semacam angklung yang biasa dimainkan di kubu (saung) di tengah sawah. Suaranya meneduhkan.

Seusai makan kami mencecap kopi bali dari Pupuan—dataran tinggi di lereng Gunung Batukaru—yang terkenal dengan produk kopinya. Hmm... lengkap sudah kenikmatan lidah hari itu.

Melenakan

Begitulah kelezatan ikan bakar Made menyusup dalam warung sederhana berukuran tidak lebih luas dari lapangan voli. Hanya ada delapan meja masing-masing dengan empat atau enam kursi di ruang makan utama. Ruangan itu berhadapan dengan halaman belakang yang ditanami beberapa tumbuhan seadanya. Tidak ada tempat parkir khusus kecuali jalanan kecil di belakang terminal.

Meski sederhana, warung milik Kyana cukup tersohor di berbagai kalangan. Artis, atlet pemegang emas Olimpiade, petinggi partai politik, pejabat Bali, menteri, hingga presiden mampir ke sini. Foto mereka bersama Made Kyana bertebaran di dinding ruang depan warung dengan penataan dan kualitas seadanya.

"Kalau presiden atau keluarga- nya mau makan di sini, pengawal- nya sudah datang duluan. Repot tetapi menyenangkan," ujar Kyana seraya menyebut nama mantan Presiden RI.

Kyana menjadi juru masak sejak tahun 1982. Ketika itu ia bekerja di sejumlah restoran di Denpasar, Sanur, dan Badung. Dari situ keterampilan dan pengalamannya sebagai juru masak terasah. Suatu ketika pamannya mengajaknya mengelola warung sendiri. "Karena paman yang mengajak, tiang (saya) membuka warung sendiri akhirnya," kata Kyana yang kini mengelola warung bersama istrinya, Made Darni.

Maka, berdirilah Warung Ikan Bakar Pak Made pada tahun 1994 ketika menu ikan belum lazim disajikan di warung-warung milik orang Bali. Menu yang ditawarkan umumnya berbasis ikan laut. Meski begitu, ia juga menyediakan menu ayam bakar dan ayam goreng, serta sayur pelengkap, mulai dari plecing kangkung, cah sawi, hingga cap cay. Satu paket menu diberi harga antara puluhan ribu rupiah dan Rp 135.000.

Warung makan itu terus berkembang. Namun, Made Kyana tidak berkeinginan membuka cabang atau sekadar memperluas warungnya. Semua ia biarkan sederhana, apa adanya. Ia cukup puas dengan apa yang telah diperoleh sekarang. Buatnya, rezeki sudah diatur Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagai rasa syukur, setiap hari ia sisihkan sejumput ikan bakar dan nasi olahannya untuk persembahan kepada dewata.


Anda sedang membaca artikel tentang

Kelezatan Menyelinap dalam Kesederhanaan

Dengan url

http://warmcupofblackcoffee.blogspot.com/2013/05/kelezatan-menyelinap-dalam-kesederhanaan.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Kelezatan Menyelinap dalam Kesederhanaan

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Kelezatan Menyelinap dalam Kesederhanaan

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger