Selendang Merah, Ketika Kehidupan Telah Terbalik

Written By bopuluh on Minggu, 07 April 2013 | 23.45

SURAKARTA, KOMPAS.com--Selendang itu beragam maknanya. Terlebih jika selendang dimaksud sebagai sampur, maka si penerima sampur biasanya mendapat giliran menari, giliran menerima peran, untuk menghidupkan panggung. Dan panggung, bisa diterjemahkan sebagai kehidupan. Maka ketika selendang atau sampur itu diberikan kepada seekor kera seperti yang terjadi pada lakon "Selendang Merah" yang merupakan bagian akhir dari Opera Jawa garapan sutradara Garin Nugroho, kehidupan pun menjadi jungkir balik, 'hewan menjadi manusia dan manusia menjadi hewan' yang berlangsung di Teater Besar Institut Senin Indonesia (ISI) Surakarta pada tanggal 6 dan 7 April 2013.

Narator (Endah Laras), dengan wajah dilaburi bedak putih, membuka pertunjukan sambil memperkenalkan para pemainnya. Dia pun menyebut, di panggung itu ada Tuan Ledhek (Anggono Kusumo Wibowo), ada Sri ledhek Sruti Respati), ada Anoman (Heru Purwanto), dan seterusnya.

Lalu dengan lembut gamelan masuk sebelum akhirnya bergerak rancak mengiringi tiga penari pria yang bergerak atraktif. Penari masuk dan keluar panggung, mereka mengisahkan rombongan ledek yang menemukan kera di tengah hutan yang telah ranggas.

Kera yang kemudian disebut sebagai Anoman itu pun dipaksa untuk bergabung dengan rombongan ledek melaui proses yang keras dan kejam. Oleh berjalannya waktu, antara si ledek dan kera saling mengasihi. Seiring dengan berbagai bencana yang datang, seorang tetua adat menganjurkan agar si ledek bercinta dengan si kera agar bencana mereda.

Jika ingin kehidupan berlangsung baik, maka manusia harus baik kepada alam. Jika manusia menciderai alam, maka kehidupan akan tunggang langgang, manusia akan menjelma binatang. Itulah pesan dari cerita ini. Sebuah pesan peradaban yang dikemas ke dalam panggung yang menghadirkan seni tari, musik, sastra, instalasi, film, akting, dan vokal. Anasir-anasir ini saling jalin dan membentuk bangunan pertunjukan indah yang puitis.

Maklumlah, sebagai sutradara film, Garin Nugroho selama ini memang dikenal "dalam" memahami tema dan juga terampil merangkai gambar menjadi sajian yang elok sekaligus estetis. Karya-karya filmnya diputar dan mendapat sambutan meriah di beberapa negara untuk mengikuti festival bergengsi.

Garin memang bukan jenis sutradara yang hanya mengabdi kepada air mata dan kecengengan hidup yang selama ini menjadi "dagangan" laris para sutradara Indonesia kebanyakan. Itulah sebabnya, kendati tak disambut dengan gegap gempita, karya Garin biasanya malah diapresiasi dengan baik oleh seniman-seniman luar negeri. Opera Jawa, adalah salah satu dari karya Garin yang bukan saja diapresiasi oleh dunia, melainkan juga bukti ketekunan Garin dalam berproses dan berkesenian.

Tahun 2005, adalah Petter Sellars (salah satu sutradara terkemuka teater kontemporer Amerika) bersama Simon Field (mantan direktur Rotterdam Film Festival) dan Keith Griffith (dikenal memproduksi dokumenter instalasi art) memilih sutradara untuk membat film untuk memeringati kelahiran Amadeus Mozart ke-250 tahun, yang dirayakan oleh berbagai seniman dunia dengan beragam
disiplin seni di kota Wina.

Awalnya, "Opera Jawa" memang digagas untuk merayakan Mozart dan mempersembahkan gamelan sebagai ciri dari Indonesia. Mengambil lakon "Ramayana" sebagai pijakan, "Opera Jawa" pun dikemas dengan berbagai disiplin seni (film, instalasi, fashion, tari, musik, sastra). Nah, dari sinilah "Opera Jawa" bermula dan kemudian terus mengalir menjumpai zamannya.

Selanjutnya "Opera Jawa" melahirkan seri kesatu bertajuk "Ranjang Besi" untuk spectacle teater bersamaan denga distribusi film Opera Jawa di Jerman dan Swiss. Kemudian, Opera Jawa pun melahirkan kembali seri kedua yang diberi judul "Tusuk Konde", hingga akhirnya di tahun 2013 ini, Garin melahirkan seri terakhir dari "Opera Jawa" berjudul "Selendang Merah".

Seperti karya-karya yang sebelumnya, "Seledang Merah" juga masih membuktikan bahwa Garin adalah seorang 'pencerita' yang puitis, yang berkata-kata dengan semua unsur seni yang dimilikinya, mulai dari film, susastra, instalasi, hingga musik. Garin boleh jadi tak mampu bernyanyi, menari dan bermusik dengan hebat, namun dia adalah seorang konduktor hebat dengan menghimpun "jagoan" seni di bidangnya. Mulai dari Rahayu Supanggah sebagai komposer pertunjukan, Anggono Kusumo Wibowo (koreografer), hingga sederet perupa yang mempercantik panggung seperti Sunaryo, Entang Wiharso, hingga Agus Suwage. Tak cuma itu, Garin juga didukung oleh seniman-seniman multi talenta yang bisa menari, bernyanyi, dan tentu saja berakting semacam Sruti Respati.

Menurut rencana, setelah digelar di Solo, "Selendang Merah" akan dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini, pada 13-14 April 2013. (jy)


Anda sedang membaca artikel tentang

Selendang Merah, Ketika Kehidupan Telah Terbalik

Dengan url

http://warmcupofblackcoffee.blogspot.com/2013/04/selendang-merah-ketika-kehidupan-telah.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Selendang Merah, Ketika Kehidupan Telah Terbalik

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Selendang Merah, Ketika Kehidupan Telah Terbalik

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger